BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian
penting yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at islam, asas
tasyri’ dalam al-Qur’an, penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan
fuqaha dalam generasi pertama. Pengertian Tarikh Tasyri' secara bahasa berasal
dari kata Tarikh yang artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan
dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat.
Serta dari kata syariah adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
(diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup
tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah),
perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang)
dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).
Tasyri’ adalah bermakna legislation,
enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama Islam.[1]
Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju
destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan
dalam memahami fiqh islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi
penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh, periodisasi perkembangan hukum
islam, sumber – sumber hukum islam serta madzhab-madzhab fiqh. Namun dalam
pembahasan makalah ini akan lebih di fokuskan terhadap pembahasan periodisasi
perkembangan hukum islam setelah mengalami kejumudan dan kemunduran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses kebangkitan Tasyri’?
2.
Bagaimana kondisi perkembangannya?
3.
Mengapa hal itu terjadi?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui kebangkitan Tasyri’.
2.
Untuk mengetahui Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya.
3.
Untuk mengetahui proses hukum syari’at Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya
Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi
tahapan demi tahapan perkembangan syari’at islam. Diantara mereka ada yang
menjadikan pembagian syari’at islam sama seperti perkembangan manusia dari segi
tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-kanak, dewasa dan zaman
tua. Demikian juga halnya dengan syari’at islam dalam perkembangan dan
perjalananya. Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek
perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam
fiqh, mereka yang menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah
tahapan syari’at islam.[2]
Sebagian mengatakan 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga
pendapat lain mengatakan tujuh.
Pendapat yang lebih tepat dari pembagian ini,
yaitu pendapat yang mengatakan ada 4 fase sebagai berikut :
·
Fase kelahiran dan pembentukan, merentang
sepanjang masa hidup Rasulullah saw, sehingga dapat kita istilahkan sebagai
fase penurunan dan kedatangan wahyu.
·
Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup
masa sahabat dan tabi’in sampai zaman pertengahan abad IV H.
·
Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari
pertengahan abad IV sampai abad XII H.
·
Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari
abad XII sampai sekarang.
B. Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh
Fase ini dimulai dari akhir abad XIII H / 19 M sampai pada hari ini. Angin pembaharuan ini sebenarnya telah berhembus
sejak awal abad XIV M, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang terus
berkembang sampai sekarang. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
• Ibnu
Taimiyah ( 1263-1328 ).
• Ibn
Qoyyim al-Zaujiyah ( 1292-1356 ).
•
Muhammad Ibn Abdul Wahab (
1703-1787 ).
•
Jamaluddin al-Afghani ( 1839-1897 ).
•
Muhammad Abduh ( 1849-1905 ).
•
Rasyid Ridla ( 1865-1935 ).
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat
dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum
islam.
1.
Pembahasan Fiqh Islam
Indikasi kebangkitan fiqh islam pada zaman ini
dilihat dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut
:
·
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian
madzhab-madzhab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyyah yang sudah diakui dengan
tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus anatara satu
madzhab dengan madzhab lainnya.
·
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian
fiqh tematik, karena pembahasan fiqh pada masa yang lalu bersifat ringkas,
lafal yang penuh simbol dan rumus yang memerlukan waktu banyak untuk
memahaminya.
·
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian
fiqh komparasi, sehingga memunculkan teori-teori umum dalam fiqh islam dan
mengasilkan teori baru seperti teori aqad, kepemilikan, harta, dan
pendayagunaan hak yang tidak proporsional.
·
Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan
menerbitkan ensiklopedia fiqh. Seperti contoh didirikannya Lembaga Kajian Islam
di Al-Azhar pada tahun 1961 M di Mesir oleh para ulama besar dari semua negeri
islam yang terpercaya keilmuannya.[3]
2.
Kodifikasi Fiqh
Kodifikasi ( taqnin ) adalah upaya
mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dengan bentuk butiran
bernomor. Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan,
yaitu :
1.
menyatukan semua hukum dalam setiap masalah
yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing
hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi
undang – undang tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan
yang kontradiktif.
2.
memudahkan para hakim untuk merujuk semua
hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada babbab yang teratur sehingga
mudah untuk dibaca.
Sebenarnya upaya untuk menjadikan fiqh sebagai
undang-undang sudah muncul pada awal abad II H ketika Ibnu Muqaffa menulis
surat kepada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar undang-undang civil negara
diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Namun usulan ini tidak mendapat sambutan,
karena para fuqaha enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri
sudah memberikan peringatan untuk menjauhi fanatisme madzhab.
Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah
kodifikasi terhadap fiqh islam betul-betul dapat terwujud di Turki ketika
muncul Majallah Al-Ahkam Al -‘Adliyah ( Semacam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ) pada masa Dinasti Usmaniyah yang berangkat dari keinginan imperium
untuk mengacukan seluruh Undang-Undang sipil yang berlaku bagi umat Islam
dibawah pemerintahannya pada madzhab Imam Abu Hanifah sebagai madzhab resmi
negara.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sebagian ulama ada yang mengatakan
perkembangan melalui 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga
pendapat lain mengatakan tujuh. Pendapat yang lebih tepat adalah yang
mengatakan 4 fase dengan tahapan
1.
Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup
Rasulullah saw.
2.
Fase pembangunan dan penyempurnaan.
3.
Fase kejumudan dan taqlid.
4.
Fase kebangkitan dan kesadaran.
Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh, Indikasi
kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama
pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum islam.
B.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami sampaikan, pastinya
banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam presentasi, kiranya pembaca
khususnya mema’afkan dan melengkapi kekurangan dalam makalah ini kemudian
menjadi lebih sempurna karena-Nya. Adapun hal ini kritik dan saran sangat kami
tunggu dari pembaca yang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Jaih,Mubarok . Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam.
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003)
Hallaq, Wael. 2001. Sejarah Teori Hukum
Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[1] http://yogiikhwan.wordpress.com/2009/03/20
[2] Mubarok,
Jaih. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam,2003. Bandung : Remaja
Rosdakarya. Hal, 136